Hukum Dan Keutamaan Lailatul Qadr
HUKUM DAN KEUTAMAAN LAILATUL QADR
Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak diibadahi selain Allah semata, yang tidak memiliki sekutu, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya.
Shalawat dan salam serta berkah senantiasa tercurah kepada Muhammad, keluarga dan para sahabatnya.
Adapun selanjutnya:
Pada kehidupan setiap umat terdapat kejadian yang selalu dikenang, hari-hari baik yang membuat hati tertambat dan jiwa menjadi kelu. Sesungguhnya umat ini telah dimuliakan dengan kejadian-kejadian besar, hari-hari dan malam-malam yang sempurna.
Di antara nikmat yang diberikan Sang Pencipta kepada umat ini adalah malam yang disifati sebagai malam penuh berkah karena banyaknya keberkahan, kebaikan dan keutamaan. Ia adalah malam Lailatul Qadr. Ia memiliki kedudukan yang agung, padanya terdapat kemuliaan dan pahala yang berlebih.
Pada malam itu Allah turunkan al-Quran. Allah -Subhanahu wa Ta’âla- berfirman:
قال تعالى: اِنَّآ اَنْزَلْنٰهُ فِيْ لَيْلَةِ الْقَدْرِ ١ وَمَآ اَدْرٰىكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِۗ
“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Quran) pada malam kemuliaan (Lailatul Qadr), dan tahukah kamu Apakah malam kemuliaan (Lailatul Qadr) itu?” [al-Qodar/97: 1-2]
Firman-Nya pula:
قال تعالى: اِنَّآ اَنْزَلْنٰهُ فِيْ لَيْلَةٍ مُّبٰرَكَةٍ اِنَّا كُنَّا مُنْذِرِيْنَ
“Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan.” [Ad-Dukhân/44: 3]
Malam ini terdapat pada bulan Ramadhan yang penuh berkah dan bukan pada bulan yang lain. Allah -Ta’âla- berfirman:
قال تعالى: شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِيْٓ اُنْزِلَ فِيْهِ الْقُرْاٰنُ
“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran…” [Al-Baqarah/2: 185]
Malam ini dinamakan malam Lailatul Qadr karena Allah mengqadar (menentukan) rizki dan ajal, seluruh kejadian alam, menentukan siapa yang hidup dan mati, yang selamat dan yang celaka, yang bahagia dan yang sengsara, yang kaya dan melarat, yang mulia dan yang terhina, musim kemarau dan musim panen serta segala yang Allah inginkan pada tahun itu, kemudian mengabarkannya kepada malaikat untuk merealisasikannya, sebagaimana firman Allah -Ta’âla-:
قال تعالى: فِيْهَا يُفْرَقُ كُلُّ اَمْرٍ حَكِيْمٍۙ
“Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah.” [Ad-Dukhân/44: 4]
Itu adalah takdir tahunan dan takdir khusus. Adapun takdir umum, lima puluh ribu tahun sebelum penciptaan langit dan bumi telah lebih dulu ditetapkan sebagaimana yang terdapat dalam hadits-hadits sahih.
Allah telah menyitir kemuliaan malam ini dan menunjukkan keagungannya. Allah -Azza wa Jalla– berfirman:
قال تعالى: وَمَآ اَدْرٰىكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِۗ ٢ لَيْلَةُ الْقَدْرِ ەۙ خَيْرٌ مِّنْ اَلْفِ شَهْرٍۗ
“Dan tahukah kamu Apakah malam kemuliaan (Lailatul Qadr) itu? Malam kemuliaan (Lailatul Qadr) itu lebih baik dari seribu bulan.” [al-Qadr/97: 2-3]
Siapa yang ibadahnya di waktu itu diterima, menyamai ibadah selama 1000 tahun, setara kurang lebih 83 tahun 4 bulan. Ini adalah pahala yang besar, dan balasan yang agung atas amal yang ringan dan sedikit.
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Nabi -shalallahu alaihi wasalam- bersabda:
مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Siapa yang shalat pada malam Lailatul Qadr dengan iman dan mengharap pahala, diampuni dosanya yang telah lalu.” [HR. Al-Bukhari di dalam sahihnya no. 1901]
Menghidupkan malamnya karena percaya dengan janji pahala dan mengharap balasan, bukan karena hal lain. Penentunya adalah kesungguhan dan ikhlas, sama saja mengetahuinya atau tidak mengetahuinya.
Hendaknya engkau bersungguh-sungguh wahai saudaraku yang mulia untuk shalat dan berdoa pada malam itu. Sesungguhnya ia merupakan malam yang berbeda dari malam lain sepanjang tahun. Manfaatkan waktu sebaik-baiknya, waspadai kelezatan tidur dan kesenangan hidup.
Adapun waktu dan persisnya, terdapat berita dari Rasulullah -Shalallahu alaihi wa sallam- ia adalah malam ke 21, 23, 25, 27, 29 dan akhir malam Ramadhan.
Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata:
“Menurutku –wallahu a’lam– bahwa Nabi -shalallahu alaihi wasallam- menjawab sesuai dengan apa yang ditanyakan. Ketika ditanyakan kepadanya: ‘Apakah kita menantikannya pada malam demikian?’ Beliau menjawab: ‘Nantikanlah pada malam demikian’.” [1]
Ulama berbeda pendapat dalam menentukan malam Lailatul Qadr hingga terdapat 40 pendapat. Hal itu disebutkan oleh al-Hafidz Ibnu Hajar di dalam kitabnya Fathul Bâri. Pendapat tersebut sebagiannya lemah, sebagian lagi ganjil dan sebagian lagi batil.
Yang sahih dalam hal ini adalah hari-hari ganjil pada sepuluh malam terakhir Ramadhan, 21, 23, 25, 27 dan 29 sebagaimana hadits Aisyah -Radiallahu’ anha-, dia berkata:
“Dahulu Rasulullah -shalallahu alaihi wasallam- menantikan Lailatul Qadr pada hari ganjil di sepuluh hari terakhir Ramadhan. Dan bersabda:
تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِى الْوِتْرِ مِنَ الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ
“Upayakan malam Lailatul Qadr pada hari ganjil di sepuluh hari terakhir Ramadhan.” [HR. Al-Bukhari no. 2017]
Bilamana seseorang lelah dan melemah kesungguhannya, hendaknya mengupayakannya pada tujuh hari ganjil terakhir, 25, 27, 29 sebagaimana hadits Abdullah Ibn Umar -Radiallahu’ anhu- bahwa Nabi -Shalallahu alaihi wa sallam- bersabda:
الْتَمِسُوهَا فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ فَإِنْ ضَعُفَ أَحَدُكُمْ أَوْ عَجَزَ فَلاَ يُغْلَبَنَّ عَلَى السَّبْعِ الْبَوَاقِى
“Nantikanlah Lailatul Qadr pada sepuluh hari terakhir, jika lemah dan tidak sanggup, jangan terluput 7 hari yang tersisa.” [HR Muslim no.2822 dan Ahmad II/44,75]
Dengan perincian ini hadits-hadits tersebut menjadi saling mendukung dan tidak bertentangan. Yang lebih dekat kepada dalil bahwa malam Lailatul Qadr berpindah-pindah, tidak tetap pada satu malam tertentu setiap tahunnya. Sekali waktu terjadi pada malam 21, pada waktu lain 23, 25, 27, 29, dan tidak dapat dipastikan. Pembuat syariat yang Maha Bijaksana telah merahasiakan waktunya agar kita tidak hanya bergantung pada malam tertentu saja dan meninggalkan amal serta ibadah pada sisa malam-malam Ramadhan yang lain. Dengan demikian dihasilkan kesungguhan pada seluruh malam hingga dia mendapatkan malam itu.
Yang benar adalah bahwa tidak disyaratkan mendapatkan malam itu dengan melihat atau mendengar sesuatu. Tidak musti mereka yang mendapatkannya tidak akan mendapat pahala hingga menyaksikan segala sesuatu bersujud, atau melihat cahaya, atau mendengar ucapan salam, atau bisikan dari malaikat. Tidak benar bahwa malam Lailatul Qadr tidak didapat kecuali jika melihat hal-hal di luar kewajaran, akan tetapi keutamaan Allah itu luas.
Tidak benar juga siapa yang tidak mendapatkan tanda-tanda Lailatul Qadr berarti dia tidak mendapatkannya. Nabi -Shalallahu alaihi wa sallam- tidak membatasi alamatnya dan tidak menafikan karomah.
Ibnu Taimiyah berkata:
“Terkadang Allah memperlihatkan kepada sebagian manusia dalam tidur atau dengan sadar sehingga dia melihat cahayanya, atau mendengar ada yang berbicara kepadanya bahwa malam itu adalah Lailatul Qadr. Terkadang dibukakan hatinya menyaksikan apa-apa yang menjelaskan terjadinya malam itu.”
An-Nawawi berkata:
“Sesungguhnya dia diperlihatkan. Allah telah memperlihatkan kepada siapa saja dari bani Adam dengan kehendak-Nya setiap tahun di bulan Ramadhan, sebagaimana diperlihatkan kejadian-kejadian dan dikhabarkan oleh orang-orang saleh tentangnya. Kesaksian mereka yang telah melihatnya tidak sedikit. Adapun perkataan al-Qodhi Iyadh dari al-Muhlib Ibn Abi Shofroh:
“Tidak mungkin melihatnya secara hakiki“
Merupakan kekeliruan pendapat yang buruk, aku mengingatkan hal ini agar tidak tertipu karenanya.”
Al-Hafidz Ibn Hajar menukilkan, bahwa siapa yang melihat malam Lailatul Qadr disukai untuk merahasiakannya dan tidak mengabarkannya kepada seorang pun, hikmahnya bahwa hal itu adalah karomah, dan karomah sepatutnya dirahasiakan tanpa khilaf.
Lailatul Qadr tidak khusus untuk umat ini, akan tetapi umum, untuk umat Muhammad dan umat terdahulu seluruhnya. Dalam hadits Abu Dzar -radiallahu’anhu- dia bertanya:
يا رسول الله، هل تكون ليلة القدر مع الأنبياء، فإذا ماتوا رُفِعت، قال عليه الصلاة والسلام: بل هي إلى يوم القيامة
“Wahai Rasulullah, apakah Lailatul Qadr terjadi ketika ada nabi, dan jika wafat malam itu diangkat (ditiadakan)?” “Tidak, bahkan ia terjadi sampai hari kiamat.” Jawab Rasulullah -Shalallahu alaihi wasalam- . [HR. Ahmad dan selainnya. Dan haditsnya sahih]
Di antara tanda Lailatul Qadr yang bisa diketahui, sebagaimana hadits Ubay Ibn Ka’ab -radiallahu’anhu- bahwa Nabi -shalallahu alaihi wasalam- bersabda:
تَطْلُعَ الشَّمْسُ في صَبِيحَةِ يَومِهَا بَيْضَاءَ لا شُعَاعَ لَهَا
“Matahari terbit pada pagi Lailatul Qadr cahayanya putih tidak terik.” [HR. Muslim ]
Maksudnya adalah hal itu terjadi karena banyaknya Malaikat pada malam itu yang turun naik ke langit sehingga cahaya terik matahari tertutupi oleh sayap-sayap dan tubuh mereka.” –selesai perkataannya–
Adapun tanda-tanda lain, tidak ada hadits sahih yang menetapkannya, seperti: malam yang tenang, tidak panas dan tidak dingin, bintang tidak terlihat atau setan tidak sanggup keluar dengan terbitnya matahari di hari itu.
Terdapat tanda yang tidak ada dasarnya sama sekali dan tidak sahih, seperti: pohon yang bersujud ke bumi kemudian kembali posisinya semula, air asin akan berubah menjadi manis, anjing tidak menggonggong dan cahaya ada di mana-mana.
Malam Lailatul Qadr tidak khusus bagi mereka yang sedang shalat saja, tetapi juga bagi wanita yang sedang nifas dan haid, musafir dan mukim. Dhohak –-rahimahullah– berkata:
“Mereka semua memiliki bagian pada malam Lailatul Qadr. Siapa saja yang diterima amalannya akan Allah beri dia bagiannya dari malam Lailatul Qadr itu.”
Hendaknya seseorang itu menyibukkan kebanyakan waktunya dengan doa dan shalat. Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata:
“Disukai memulai kesungguhannya di siang hari seperti kesungguhannya di malam hari.”
Sufyan ats-Tsauri -rahimahullah- berkata:
“Berdoa pada malam hari lebih aku sukai dari shalat, dan doa di malam Lailatul Qadr masyhur dan terkenal di antara para sahabat. Hendaknya engkau bersungguh-sungguh wahai saudara dan saudariku yang mulia untuk memilih doa-doa simpel yang terdapat di dalam al-Quran, yang dahulu Nabi -Shalallahu alaihi wa salam- berdoa dengannya atau menganjurkannya. Perlu kita semua tahu bahwa tidak ada doa khusus pada malam Lailatul Qadr yang tidak dibaca selain ia saja, akan tetapi setiap muslim berdoa dengan yang sesuai keadaannya. Dari doa yang terbaik yang dipanjatkan pada malam yang penuh berkah ini adalah apa yang dikeluarkan oleh an-Nasai dalam kitab Amalul Yaum wal Lailah dari Aisyah -Radiallahu’ anha- dia berkata:
لو علمتُ أي ليلةٍ ليلة القدر، لكان أكثر دعائي فيها أن أسأل الله العفو والعافية
“Seandainya aku tahu kapan malam Lailatul Qadr itu, niscaya doa yang banyak aku panjatkan adalah meminta pengampunan dan keafiatan.”
Demikianlah setiap muslim berupaya untuk berdoa dengan doa yang jâmiah (simpel) dari doa-doa Nabi -Shalallahu alaihi wa salam- yang terekam dalam banyak situasi dan kondisi, yang khusus maupun umum.
An-Nawawi berkata:
“Disukai memperbanyak doa bagi kepentingan kaum muslimin pada malam itu, dan ini adalah syiar orang-orang saleh, dan hamba-hamba-Nya yang mengetahui.” –selesai perkataannya–
Demikianlah wahai kaum muslimin, sesungguhnya kalian memiliki saudara-saudara yang tertindas di barat dan di timur dari belahan bumi ini, kalian memiliki saudara-saudara yang mengorbankan diri untuk meninggikan kalimat Allah di muka bumi, janganlah bakhil untuk mendoakan mereka.
اللهم يا من خلق الإنسان وبَنَاه، واللسانَ وأجراه، يا من لا يخيب من دعاه، هب لكلٍّ منا ما رجاه، وبلّغه من الدارين مُناه، اللهم اغفر لنا جميع الزلات، واستر علينا كل الخطيئات، وسامحنا يوم السؤال والمناقشات، وانفعنا وجميع المسلمين بما أنزلته من الكتاب يا أرحم الراحمين
Wahai Allah, yang telah menciptakan manusia dan menumbuhkannya, yang menciptakan lisan dan memfungsikannya, wahai Zat yang tiada menolak doa, berilah setiap kami apa yang diharapkannya, dan sampaikan mereka kepada negeri abadi. Wahai Allah, ampuni segala kesalahan kami, tutupi segala kesalahan kami, berilah kelonggaran kepada kami pada hari pertanyaan, berilah manfaat seluruh kaum muslimin dari apa yang telah engkau turunkan dari kitab-Mu, wahai Zat yang Maha Penyayang.
وصلى الله وسلم على محمد، وعلى آله وصحبه أجمعين
Shalawat dan salam tercurah kepada Muhammad, keluarga dan seluruh sahabatnya.
Referensi:
- Arba’un Darsan Liman Adroka Romadhan, oleh Abdul Malik al-Qossam hal.126.
- Al-Mawahib al-Hissan Fi Wadzoif Shahru Ramadhan, oleh Nashir al-Harbi hal. 203-204.
- Ithaf Ahlul Iman Bidurûs Shahri Ramadhan, oleh Soleh al-Fauzan hal. 68
- Durus Ramadhan, oleh Audah hal.87.
- Syarh as-Sodr Bizikri Lailatil Qodr, oleh al-Irâqi hal. 45.
- Fathul Bari, oleh Ibnu Hajar IV/319, 333-341.
- Shifatus Soum Nabi -shalallahu alaihi wasalam- Fi Ramadhan, oleh al-Hilali dan Ali Hasan hal.686-90.
- Majmu al-Fatawa, oleh Ibnu Taimiyah II/286.
- Syarh an-Nawawi terhadap kitab Sahih Muslim VI/289 no. 762, VII/314, VIII/312 no.1762, VIII/313
- Musnad Ahmad XV/547 no.21391.
- Wadzâif Ramadhan, oleh Ibnu Qôsim hal.62,68-69.
- Al-Adzkar, oleh an-Nawawi hal.247 no.582.
- Ithâful Khibroh, oleh Labushiri III/130-131 no. 2369.
- Mawârid adz-Dzomân Ila Zawaid Ibni Hibbân, oleh Lhaitsami III/131 no. 926.
- Amalul Yaum wal Lailah, oleh an-Nasai hal.499-500 no.782-878.
- Al-‘Alwân Syarh al-Bulugh (manuskrip).
[Disalin dari ليلة القدر فضائل وأحكام Penulis Jamâz al-Jamâz, Penerjemah : Syafar Abu Difa Editor : Eko Haryanto Abu Ziyad. Maktab Dakwah Dan Bimbingan Jaliyat Rabwah. IslamHouse.com 2010 – 1431]
______
Footnote
[1] Maksudnya: Ketika si penanya menyebutkan hari tertentu, Nabi –Shalallahu alaihi wa salam pun menjawabnya dengan hari yang ditanyakan itu. –pent.
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/16607-hukum-dan-keutamaan-lailatul-qadr.html